Jumat, 07 Maret 2008

mindering

Mindering

Indonesia telah dikenal dengan negara agraris. Dan memang demikian adanya, sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Hal itu sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Pada abad keduapuluh, pertanian di Indonesia mulai mengalami perkembangan. Hal itu dapat dilihat dari semakain bertambahnya jumlah lahan pertanian akibat pembukaan lahan pertanian baru. Selain itu, kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam bidang perekonomian juga telah berdampak dalam sektor ini. Salah satunya adalah kebijakan tanam paksa di mana para petani diharuskan untuk menanam berbagai jenis tanaman yang telah ditentukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terkait erat dengan keadaan perekonomian negeri Belanda yang sedang terpuruk sehingga mengharuskan untuk mendapat suntikan dana dari koloninya.
Pada sekitar akhir abad 19, pertumbuhan penduduk semakin meningkat, khususnya di Jawa dan Madura. Bahkan hingga awal abad 20, pertumbuhan penduduk menjadi sangat tinggi. Hal ini secara langsung telah berpengaruh terhadap dunia pertaniain. Motivasi yang kuat agar mendapatkan hasil pertanian yang melimpah, ternyata malah berdampak buruk bagi mereka. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini ternyata tidak sebanding dengan jumlah lahan pertanian yang tersedia. Lahan pertanian malah banyak yang berubah menjadi pemukiman, sedangkan tidak ada lagi tempat untuk membuka lahan pertanian baru. Hal ini telah menyebabkan kurangnya persediaan pangan bagi mereka. Pun demikian halnya dengan hasil peternakan yang juga tidak berimbang dengan pertumbuhan yang tinggi. Kurangnya persediaan pangan bagi ternak juga menjadi kendala yang serius. Tak ayal, pakan ternak dan pangan bagi manusia tak jauh beda buruknya.
Kurang tersedianya lahan pertanian bagi semua rakyat telah memunculkan golongan pekerja atau petani tuna tanah. Oleh karenanya, banyak para petani yng mempunyai pekerjaan sambilan dengan menjadi tukang, berdagang dan membuat kerajinan-kerajinan tangan dengan hasil yang sangat kecil. Selain itu banyak juga petani yang bekerja pada perkebunan-perkebunan milik pemerintah atau tuan-tuan tanah.
Namun demikian, kehidupan petani tidak menampakkan kearah kemajuan. Upah tenaga yang kecil dan hasil dari pertanian, tidak seberapa bila di banding kebutuhan keluarga yang jumlahnya berlipat. Pola hidup merekapun menjadi berubah. Hasil panen yang semula sebagian besar disimpan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, akhirnya diperjual belikan atau dijadikan uang. Sedangkan apa bila membutuhkan beras, mereka membelinya lagi dari para pedagang sesuai dengan kebutuhan. Ini dipicu oleh faktor konsumeris yang mulai muncul dikalangan petani. Uang hasil penjualan digunakan untuk membeli pakaian dan barang-barang hasil industri lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan petani lebih berorientasi pada uang. Salah satunya adalah adanya perubahan kebijakan pajak yang mengharuskan pembayarannya dengan uang. Dengan demikian, banyak petani yang beralih pada pencaharian yang dapat menghasilkan uang tunai. Faktor lain yaitu berkembangnya budaya masyarakat dengan mulai masuknya produk-produk barat ke Indonesia seperti barang-barang pecah belah, kain, dan barang-barang industri lain. Faktor prestice juga berperan di sini, di mana akan dikatakan ketinggalan apabila tidak memakai barang-barang industri.
Dengan beredarnya barang-barang industri dalam kehidupan masyarakat petani, secara langsung telah berakibat pada melonjaknya kebutuhan akan uang. Namun demikian, tingginya kebutuhan akan uang tidak berimbang dengan penerimaannya. masyarakat petani Jawa juga dikenal sebagai orang suka yang menghambur-hamburkan uang untuk bersenang-senang. Untuk memenuhi kebutuhan akan uang tersebut, para petani sering melakukan peminjaman uang dengan orang lain, khususnya orang-orang kaya asal Cina, Arab, orang-orang Eropa, dan juga orang-orang pribumi. Walaupun disisi lain pemerintah juga mempunyai bank perkreditan, namun masyarakat petani seakan enggan menggunakan jasanya karena prosesnya yang berbelit-belit.
Peminjaman uang kepada person ini semakin lama semakin berkembang dan menjadi salah satu bisnis bagi orang-orang Cina, Arab,India, dan orang pribumi sendiri. Cara kredit ini disebut sebagai mindering atau minderingan. Tukang kredit tradisional ini menyediakan barang maupun uang untuk dikredit. Mereka berkeliling dari desa kedesa untuk mendapatkan pelanggan.
Peminjaman uang atau barang dengan sistem minderingan ini ternyata mendapatkan respon yang baik dari orang-orang pedesaan. Hal itu disebabkan karena cara kredit yang ditawarkan sangat mudah dan tidak memerlukan syarat yang rumit. Mereka juga tidak harus pergi ke tukang kredit, melainkan tukang kredit yang datang ke rumah mereka. Cara pelunasan utangnya pun sangat mudah, bisa harian, mingguan, atau bulanan dengan bunga yang bervariasi, bahkan kadang disesuaikan dengan kondisi peminjam dan hubungan peminjam dengan mindering.
Orang Cina mendominasi bisnis ini dan bahkan sebagai pekerjaan pokok. Bagi orang Cina,meminjamkan uang adalah hal yang biasa. Mindering juga dilakukan oleh orang pribumi yang sering disebut haji. Demikian karena sebagian besar mereka sudah melaksanakan ibadah haji. Dan memang orang-orang ini adalah para bangsawan atau petani kaya. Minderingan orang Arab jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan mindering orang Eropa tidak banyak mendapat perhatian dari para petani karena bunganya yang tinggi.
Keluwesan dan kemudahan cara kredit ini banyak menarik perhatian para petani. Banyaknya kemudahan yang diberikan dan kepercayaan para mindering kepada para peminjam membuat peminjam tidak merasa ragu melakukan peminjaman uang ataupun melakukan kredit barang. Minedering tidak menerapkan peraturan yang baku terhadap para pelanggannya. Tersedianya uang dengan waktu yang cepat seiring dengan kebutuhan yang mendadak menyebabkan orang banyak memilih mindering dari pada bank kredit pemerintah.
Bunga yang tinggi yang diterapkan oleh para mindering lebih dikarenakan resiko yang akan ditanggung oleh para mindering, yaitu apabila ada kreditur yang menunggak pembayaran atau melarikan diri dan hal lain yang mejnyebabkannya tidak membayar cicilan. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap modal. Rendahnya pendidikan dan kurangnya kesadaran akan masa depannya juga berpengaruh terhadap bunga yang di terapkan oleh para mindering.